Senin, 14 Oktober 2013

Sebait Kisah

Aku begitu terkesima melihat sosok pemuda ini. Seseorang yang selalu ku anggap paling tangguh diantara jajaran orang yang pernah ku kenal. ia berani bermimpi di atas jemari yang terus mengepal membumbung tinggi. aku tahu kala itu, saat teman sebayanya tengah berbangga karena masuk ke dalam salah satu murid berprestasi. dimana sentuhan beasiswa di sebuah universitas negeri amatlah menggiurkan. Tak menutup mata dan pikiran, ia sebenarnya termasuk dalam pemuda yang aktif. bercengkrama dengan organisasi sekolah, maupun organisasi berbasis lingkungan. hingga suatu hari dimana ketika ambisi itu datang. ku saksikan sendiri, ia tak pernah ragu meniti jalan setapak menuju mimpinya itu. kala itu kami tengah menuntut ilmu tambahan di sebuah institusi yang sama. sebuah lembaga bimbingan belajar yang siap membantu mewujudkan segala keinginan kami. aku yang awalnya sudah terlebih dahulu mendapatkan gerbang emas, rupanya membuatku agak sedikit santai meniti masa depan. tak ada rasa bingung yang menghampiri waktu itu. deretan kata yang tersusun dalam hati hanyalah suatu keberuntungan, esok aku tak akan bersusah payah merengkuh bangku kuliah.
Takdir tak selamanya berucap manis. sia-sia itu pasti akan menyemai benih kenestapaan dalam hati. sebuah pemberitahuan berisi pesan singkat bahwa diri ini tak lolos seleksi masuk, membuat tubuh terasa jadi melompong. sirna sudah seketika harapan dan untaian angan yang telah ku rajut sejauh ini.
sungguh Tuhan kala itu masih menyuntikkan semanagat bagi diri yang telah sempoyongan tertunduk lesu. di sela-sela jam belajar yang super padat melebihi ambang batas. ku menyaksikanmu masih minta untuk mentoring hingga mentari telah lama kembali ke peraduannya. tak pernah terbesit dalam benakmu yang sudah jelas seharusnya akan terbaca raut muka putus asa. namun yang kau hadirkan adalah sebuah perjuangan menggapai mimpi secara nyata. melewati jalan tersulit sekalipun.
di situlah ku membuka jalan pemikiranku yang serba buntu itu. berbekal lembaran buku-buku yang tebal tak terhitung jumlah halamannya. otakku berusaha menangkap daya ingat yang hadir. rangkaian kata berisi materi menjamah bergelayutan jadi satu. aku berusaha menyetarakan mimpi dengannya. dan suatu ketika sebuah senyum tipis ikut membasahi bibirku. ia lebih dahulu di terima di sebuah universitas idamannya. berkat tes seleksi yang di ikuti hampir jutaan pemuda di Indonesia. dan ia masuk menjadi salah satu yang terbaik. aku tak kunjung berhenti berharap. sungguh diri begitu mencari setitik kata semangat. dua kali tak lolos seleksi masuk membuat dada cukup kembang kempis. rasanya semua dunia ini ikut padam jika aku tak dapat melanjutkan ke jenjang bangku perguruan tinggi tahun ini. namun syukur, ku berhasil mengenakan sebuah almamater kebanggan semua orang. aku berhasil di terima di sebuah universitas yang semula bukanlah tujuanku. namun tak apalah terhitung ia juga berstatus negeri dan banyak mencetak lulusan terbaik.
seketika waktu terus bergulir dan aku menyaksikan ia tumbuh menjadi seorang yang berbeda dan aku cukup bangga.

Jumat, 04 Oktober 2013

Mutiara Papua



Suara tepuk tangan dan nyanyian riang, tak pernah lelah membangkitkan semangat mereka. Ranah papua yang asri berselimut damainya suasana pepohonan menjulang diantara sudut kesunyian. disini jarang terdengar suara deru kendaraan bermotor berlalu lalang. yang terkutip hanyalah suara kicauan burung serta ranting-ranting kayu usil melambai kesana kemari.
pagi ini bersama lencana merah putih yang melekat di tubuh mereka, seperti emas yang mahal harganya. kemudian tambahan dasi yang terlipat rapi melingkar diantara kancing baju yang terikat, seolah memperlihatkan bahwa mereka adalah calon generasi kantoran yang sukses.
mimpi mereka berada di ujung tepian jurang yang curam. setiap hari harus menyisihkan beberapa jam untuk melangkahkan kaki mungilnya menuju ke sekolah.
bersahabat dengan jalanan yang becek, berlumpur, serta naik turun merupakan hal yang biasa. belum lagi menyebrangi sungai yang arusnya meliuk-liuk tak berarah. semua itu hanya sepenggal cerita yang terpampang, perjuangan yang lain masih begitu abstrak untuk di ketahui orang.
Kucuran keringat untuk mencapai sebuah bangunan sekolah yang sudah hampir roboh dimakan usia, memanglah harga mati. namun mereka tak mengeluh. papan tulis yang masih menggunakan kapur terkadang membuat pemandangan di kelas terlihat acak-acakan. lalu buku-buku mata pelajaran yang hampir tak pernah lengkap, masih sanggup menyuntikkan semangat untuk menuntut ilmu. namun tetap saja kualitas mutiara papua ini tak bisa di ragukan.
Bandingkan dengan anak-anak yang terlalu dimanja. bersekolah di tempat yang elite dan hanya bisa merengek pada orang tua sebab tak selalu mampu menghadapi getir-getirnya kehidupan.
mereka di beri fasilitas serba lengkap bahkan mubadzir terlalu bermewahan, tetapi tetap saja dungu tak bisa memanfaatkannya. bahkan diriku termasuk orang yang mudah lengah di giurkan surganya metropolitan. anak usia dini di kota megah seperti ini sudah tak berminat untuk menyentuh buku pelajaran. mereka sudah repot membicarakan smartphone keluaran terbaru. atau sibuk mengikuti alur cerita remaja yang tak sewajarnya di aplikasikan pada usia mereka.
pacaran !
anak kecil bau kencur zaman sekarang sudah mengerti tentang kata "cinta". hal ini notabene terjadi pada garis-garis kota yang sudah curam tergerus arus globalisasi. mereka tak sadar bahwa ada saudaranya yang tengah mati-matian mewujudkan mimpi negerinya. 
ambil contoh kecilnya saja. Mutiara papua yang berkilauan ini harus tertutupi oleh tingginya ilalang yang membuat mata semua orang kabur memperhatikannya. semangat belajar yang 180 derajat berbeda dari anak metropolitan harus di bayar dengan tidak tersedianya fasilitas pembelajaran yang lengkap. andai mutiara papua ini tahu bahwa buku-buku di perpustakaan kota sudah banyak yang lapuk di makan rayap karena terlalu lama berdebu tak ada yang menjamahnya. kalau hal seperti ini terus terjadi, lalu buat apa pemerintah terlalu sibuk mengadakan pembangunan disana sini ?
sekadar lebih mempercantik fasilitas agar bisa di sebut kota modern. 
andai semua anggaran itu di limpahkan untuk pembangunan di papua mungkin ujung timur Indoesia yang satu ini akan semakin berkilau. apalagi daerah perbatasan merupakan jalur terbaik untuk memikat mata dunia. 

ingatlah negara kita itu satu. sejujurnya aku sudah merasa sesak berada di kota yang terlalu sibuk beradu gengsi ini. mereka tak mau tahu ada banyak ketertinggalan yang terjadi di sekitarnya. mereka jarang bersyukur dan yang paling penting adalah 
terlalu sibuk berargumen politik ini itu tapi tak bermanfaat bagi saudara-saudara sebangsa yang membutuhkan. kalau daerah-daerah itu sudah di caplok negara tetangga, apa yang bisa kita perbuat ? rasanya fasilitas di negeri tetangga super menjanjikan.