Selasa, 18 November 2014

ABI (sebuah dialog hati)

Kali ini dibulan yang sama pula, tepatnya setahun yang lalu aku melihat hujan mengguyur hati dan semua jiwa dalam tubuh. Terasa sejuk menyempurnakan hari-hari diantara gemericik syahdunya mendung berleret abu-abu. Sampai pada suatu ketika waktu itu kembali hadir. Menyuguhkan sejengkal ingatan yang sedikit mengusik senyum kita. Entahlah apa yang salah denga rasa kerinduanku ini, hingga membuatmu begitu asing untuk membuang muka tak mau menyapa kehadirannya kembali.
Satu per satu hingga dua per bait kata-kata terus mengalun dalam hati. Sepertinya ia bersenandung, begitu ramah ikut memanggil aroma hujan yang membuat dada ini kembang kempis. Tak terhitung berapa banyaknya atmosfer terserap dalam-dalam melewati celah kerongkongan untuk sekadar membuang rasa gundah. Jemari tak kunjung berhenti memetikkan ujung-ujungnya seolah saling bercengkrama. Bibir terus menggerutu dalam bisunya, tak tau kata apa yang hendak akan terucapkan. Lalu dentingan jam kembali bersuara. Suasana bersemayam dalam diam. Begitu sunyi dan sepi.
Kembalilah bayanganku yang berasal dari muara nurani. Ia terus bertanya…  Harus sampai kapan kata kata itu tak sampai pada sang empunya cerita ini?  Bayanganku mengeluh terlalu jenuh berdialog denganku. Dan akhirnya pada suatu malam, terasa ada energi dari senja yang menempel pada batin. Tanpa sadar pula deretan kata itu terucap mengalir seperti dentuman bom. Menyisakan aroma meisiu yang menyesakkan jiwanya. Lalu kembalilah aku menemui bayanganku, ku cekik dirinya karena tak tega melihat sang awak gagah itu meneteskan peluh akibat ulah petaka ini. Sungguh terlihat begitu samar bahwa hatinya telah berongga hampir remuk menjadi abu.
Sampaikanlah pada kata maaf ini, agar dikirimkan angin. Supaya luka hatinya segera terbungkus rasa iba. Aku tak mau keindahan dan kenangan terenggut sia-sia oleh sebuah ulah petaka. Segera tubuh ini ingin secepatnya berlari menengoknya. Tapi ribuan jalur terasa sesak dengan hitungan kilometer. Kaki tak akan mampu memburu seisi jalanan itu. oh Tuhan biar ku tepis dengan doa saja, semoga bahagia kembali menata hidupnya. assalamualaikum abi cepat sembuh dari rasa iba mu…

Kamis, 14 Agustus 2014

Mengapa

mengapa kemarau menghilang 
sekarang langit menyuguhkan mendung
sudah tak nampak dari sudut waktu
mentari akan menarik senyum 
rinai-rinai hujan membelenggu
menyapu titikan keceriaan kala itu
terasa dunia begitu murung
merenung dalam tudung haru

mengapa bunga tak lagi merekah
meyemburkan wewangian ke segala arah
ia sudah lapuk dihujani derita
manakala waktu sudah tak mampu berbuat
sekadar menyelamatkan dirinya
bunga itu layu dan terjatuh
tersungkur di bahu jalan 

mengapa deretan pelangi datang
kalau hanya menyeret senyum ini
dalam waktu yang singkat
kemudian memutuskan lagi harapan
dan kehidupan kembali berlanjut
ditemani kawanan penyesalan
semakin muram 
karena mentari enggan datang

jalan sudah menutup masanya
kini yang tersisa hanya alunan senja
sampai angin pun tak akan tau
semuanya sudah mati tertutup pilu
bahkan sisa kebanggan diri sudah terkikis
lenyap terenggut kesenangan sesaat

Senin, 09 Juni 2014

Nestapa

Dahulu ku melihat ada sinar seterang mentari di hatimu
Begitu sayu dan bernada malu diawal sapaan perjumpaan itu
Kemudian mentari kembali terbirit
Menjemput senja di ufuk kemarau
Semakin lama ku langkahkan kaki
Terlalu jauh pula aku terperosok pada lubang nista
Pada siapa lagi ku kan berbagi
Kisah kenestapaan dibalik topeng sebuah ketulusan hati
Saat sebuah indahnya fitrah suci
Telah terkotori  dengan genggaman dosa
Dari akar rambut hingga kuku kaki
Yang tak punya malu saling bersua dengannya
Tentu aku tak menjumpai rinai hujan hari itu
Kemudian menyuguhkan pelangi dibatas pandanganku
Ku hanya melihat mendung kian mengantarkan petir menyorakinya
Kala diri hanya menjadi boneka
Ruang pikiran dan hatinya hidup
Namun digerakkan lilitan kedzaliman
Dimanakah kata sebuah penghormatan
Untuk menghargai sebiji rusuk yang bengkok ini
Dalam diam menyaksikan
Air mata mengaca pada wajah diri
Akankah nanti kita berakhir
Pada lumbung kepedihan yang tersayat sampai akhirat
Sungguh malang ku saksikan
Cucuran deras keringat sang tetuah
Dibayar akan kedurhakaan watak anak
Padahal dulu sejak ayam bersahutan pada subuh hari
Ia membanggakan mutiara alit itu
Mendoakannya dari sebuah pengharapan
Agar menjadi diri yang bahagia
Tetap berseri seperti masanya ketika ia masih ditimang
Namun kini sungguh apa yang bisa dibalaskan
Sepercik hasrat kotornya
Melukai mimpi tetuahnya
Menengok pada bibit yang telah tertanam rapi
Namu gagal dipanen karena satu hal
Ia terjangkit hama
Pembawa penyesalan dan kebodohan
Diri sesungguhnya kian bernyawa
Karena ia terlahir untuk menjadi sebuah kapas putih
Yang tetap putih sampai nanti
Hingga keadaan mengizinkan
Atas kehendak sang Empunya hidup
Ia akan terkotori dengan debu
Sampai orang akan lalai melupakannya
Dan ia akan tetap hidup abadi
Bersama kenangan di suatu perantauan hidup
Yang mengantarkannya pernah merasakan kebahagiaan

Minggu, 23 Maret 2014

Entah Apa



Entah apa pada pagi itu masih terlihat pekat tertutup kabut. Tak ada raut muka masam dan senyum bibir sumringah membanjiri wajah. Kiat ingin menemui pagi yang begitu indah dengan seberkas cerahnya, seperti hanya lamunan diantara senda gurau, guntur dan pekatnya mendung yang hadir. Saat itu pula aktivitas kembali menjaring serangkaian waktu hidupnya. tatkala ia kembali bercengkrama dengan berbagai raut muka di sekitarnya.
Ia hanya mampu mengumpat pada bait bait keramahannya. Walau jauh di sebrang hatinya yang membisu itu terdapat duri duri tajam yang tengah menggerogoti kebahagiaannya. Memang tak perlu orang lain mengetahui bahwa ia hanya merasa sendiri. Meskipun sudah ada jantung hati sebagai pelipur lara diantara linangan air mata, tetap saja beban selamanya akan menjadi benalu.
Pada suatu ketika ia ingin mencari padang rumput yang luas, dengan di selingi pepohonan yang membungkuk berayun ke bawah memunggungi sinar matahari. Jauh dan jauh sekali dari keramaian dan kebisingan suara manusia. Biarkan alam yang berlaku jenaka kali ini mewarnai hidupnya. dan hanya ia bersama cerita baru di sekelilingnya. Ia ingin berlari menyusuri tebing dan terjatuh akibat tindakannya sendiri. Ia ingin menembus jajaran hutan belantara yang terselingi jamur dan lumut beraroma meisiu alami. Begitu pula raganya ingin mengalir megikuti derasnya aliran sungai yang tak bermuara. Lalu ia tersenyum sendiri akibat ulahnya yang tak karuan.
Pada setengah malam ia akan merasa ketakutan karena tak ada yang mau berbagi cerita dengannya. Semuanya begitu sunyi. Ia tak memahami seberapa rumit bahasa kalbu antara sesama binatang, ataupun bahasa rumpun diantara jajaran semak belukar. Hanya menggumam dengan angin serta angan dan hati kecilnya saja. Dan suatu saat ia bangun dari semua penjelajahannya itu. begitu bebas dan lepasnya hidup dengan berbagai konsekuensi yang ada. Bukan menjadi seekor burung yang tersungkur dan diam dalam sangkarnya.
Ia juga ingin membangun cerita sendiri sesuai keinginannya. Bersama penjaga hatinya, hingga tak ada lagi yang terlalu bersikap cerewet dalam mengomentari kehidupannya. Ia ingin menyusuri jendela dunia yang masih terbuka lebar. Bukan malah terjerembab pada seonggoh tempurung yang sempit.
Semoga padang sinar mentari dan rembulan masih mau menanti, entahlah sampai kapan. Dan entah apa yang akan ia temui nanti. Jalan setapak masih banyak yang belum di telusuri oleh kaki mungilnya. Serta jemari tangannya masih pula ingin menyentuh pernak pernik dunia. Ia akan menjadi kawanan orang dengan segudang angan. Semoga ia mampu menjangkau awan diatas badai serta pelangi diantara rinai hujan.

Senin, 10 Maret 2014

ia



                Kepada sang gadis kurcaci yang tak pernah di sapa mentari. Ia mengikuti jejak setapak angin menyusuri mejikuhibiniu di sebuah tempat yang begitu asing. Nada-nada berbeda mulai bercengkrama seolah ingin menikamnya ataupun mengajaknya berkawan. Tapi tatkala ia tetap murung tertunduk pada sebuah tempurung kesendirian. Dunianya begitu sempit terbatas sekat jerami yang mengelilingi pandangannya. Di antara kantong bercorak canting malam yang mengotorinya, tak terdengar kawanan recehan yang dapat mengadu bunyi antara satu dengan yang lain, sebab tangan mungilnya memang bagai parasit semu. Ia kali ini harus puas menata air mata akan diri yang kian membatu tak berguna. Dari rangkaian sajak naskah ilmu-ilmu itu ia pelajari, saat di kala itu usianya begitu berkecambah makin tumbuh dan berkembang. Tak ada rasanya manfaat itu benar-benar menjuntai meluruskan garis hidupnya yang kian curam. Semua terasa bagai hidup amatir, lontang-lantung menjelujuri fantasi yang kini hanya bisa menemani daya pikirnya. Sekalipun jemarinya pula pandai mengotak-atik kata ia hanya menggumam bercerita pada lajur hati kecilnya. Supaya cerita itu musnah tanpa berpindah posisi terekam pada memori otak yang lain. Suatu ketika ia mulai mengenal akan rasa yang dipandang sebagai fitrahnya seorang manusia. Ia karam pada pelupuk mata yang kian menciutkan hatinya, atau pada seikat nafas yang kian kembang kempis berlari-lari ingin mendahului suara denyut nadi yang juga terburu-buru membius waktu. Saat itulah ia menyentuh akan bunga mawar mulai menebar wewangi yang kian memikat senja. Namun belum lama itu terjadi, pola pikir sibuk bermain dengan kasta akan masa depan yang telah terimpikan. Akankah pujangga itu mau mempertahankan seruan ikrar yang terlanjur terucap. Padahal diantara ufuk barat dan ufuk timur serta pada perbatasan rinai hujan antara pagi dan malam, masih ku dapati tumpukan pesona yang lebih menawan, bergelimang kepingan emas warisan dari tetuahnya. Di penghujung itulah ia mulai ketakutan sendiri, memikirkan asa yang segera terenggut jika kenyataan dapat membisukan mata hati. Ia juga butuh akan kawan berbagi cerita, untuk mengupas linangan air mata supaya nestapa tak selalu merasuki hidup. Benarkah ia patut merasakan dan mendapatkannya. Tuhan mendengarnya.

Bahasa Tanpa Syarat

 
Saat itu pagi mngutip senyum kami
Dari serangkaian waktu yang terlewati
Kini sudah berada di ujung pertemuan
Ya seperti biasa jarak sudah menjadi benalu
Akan cerita rindu yang semakin bertumpuk
Bermandikan sinar mentari
Engkau kembali hadir menyisir tawaku
Lalu kasih itu kembali mendekap
Dalam manis manjaku yang tak terukur
Walau hidupku juga rumit
Namun akar pikiranku
Masih melilit akan bayangmu
Tiada yang tertinggal dan terselip
Atas namamu yang selalu menggumam dalam hati
Aku tak pernah ragu akan dirimu
Karena ku yakin kau pun sama sepertiku
Masih kuat menopang cinta ini
Walau diantara sekat waktu yang begitu tajam
Itu bukanlah penghalang
Engkau merupakan semangat di balik alasan
Ketika ku jatuh ataupun terpuruk
Hanya dikau yang sanggup mengisi saat saat itu
Lalu kau tuturkan berbagai macam nasihat
Hingga tubuhku kembali bangkit
Menjadi wanita yang hebat seperti semula
Tak ada cerita cinta terindah dalam hidupku
Karena yang terpatri hanya sosokmu
Bagaimana mungkin aku akan berlenggang
Memilih cinta yang lain
Saat mata, hati, dan pikiranku
Terus menyeru namamu
Engkau adalah lembaran kebahagiaan
Akan masa depan yang tertunda
Ku akan terus berusaha menjaga semua ini
Begitu pula nadiku
Semoga akan berlabuh pada dirimu yang terakhir
Sosokmu tak pernah buruk dimataku
Engkau merupakan bagian cahaya yang hilang
Namun sekarang kembali bersinar
Ikut menyemai hari hariku
Bersama sejuta sayangmu
Rasa ini akan terus membaur dalam hidup
Semoga kita dapat menyatu
Dan aku juga masih menunggumu
Hingga di penghujung senja yang mencoret usiaku



Kamis, 06 Maret 2014

Batas Kenangan




Mata langit kala itu berkaca
Membasuh secawan dendam pada hidup
Ia yang kala itu masih berusia tunas
Dan masih menginginkan nyanyian nina bobo
Namun padang rembulan sudah membisu
Tak ada sapa lagi baginya yang tengah rindu
Matanya hanya menangkap sepasang bayangan tua
Begitu seterusnya hidup berjalan meniti tujuannya
Pernah kala itu ia bergeming
Mengadu akan rasa iri pada kawan sebayanya
Mengapa pada hari sakral diantara jenjang sekolah
Tak jua ada seruan kata bangga membanjiri ruang itu
Atau sekadar tepuk tangan yang saling bersahutan
Sesaat di waktu yang teramat rumit itu
Bait-bait jiwanya mulai belajar akan arti bersabar
Tatkala hal itu berulang menggulung jengkal mimpinya
Sudah sekian lama ia menabung
Menabung akan masa dimana ia dapat bercengkrama
Lalu kebersamaan itu terbingkai rapi
Menghiasi  wajah dinding rumahnya
Seutas harapan terus bersemi
pada esok nanti angannya akan bernyawa
sungguh sayang,  belum sampai separuh usia
sang Empunya hidup mengubah skenario
ia tak akan bisa lagi memaksa keadaan
sebatas agar senyum diantara celah bibir mereka
mengembang seraya di sapa acungan jempol
tak akan ada hiasan bingkai berisi empat kepala
mencoret wajah dinding kumal itu
baju bekas jenjang tertinggi ini
harus siap bersaksi bisu
memotret senyum akan sebuah keberhasilan
walau yang tersisa kini hanya bertiga
dan diantara dirinya
 adalah ciptaan setengah tulang rusuk
tetap saja hati juga berkecambuk sendiri
dari batas usia dini hingga kini
tak pernah ada sumbangsih keringat tubuhnya
yang mampu membidik kagum pada wajah kekar itu
sungguh menyesal pula
ia tak dapat mendekap seribu kenangan terakhir
yang harus terbatasi antara tanah dan udara
taman kamboja hanya menyorot sayu
ia membiarkan agar jiwa itu di terjaga
biarkan wewangi beraroma kenestapaan
tetap membungkus batas kenangan
hingga lelaki itu kembali dan menyapa dirinya
diantara rinai hujan
dan diantara perbatasan langit dan bumi