Senin, 09 Juni 2014

Nestapa

Dahulu ku melihat ada sinar seterang mentari di hatimu
Begitu sayu dan bernada malu diawal sapaan perjumpaan itu
Kemudian mentari kembali terbirit
Menjemput senja di ufuk kemarau
Semakin lama ku langkahkan kaki
Terlalu jauh pula aku terperosok pada lubang nista
Pada siapa lagi ku kan berbagi
Kisah kenestapaan dibalik topeng sebuah ketulusan hati
Saat sebuah indahnya fitrah suci
Telah terkotori  dengan genggaman dosa
Dari akar rambut hingga kuku kaki
Yang tak punya malu saling bersua dengannya
Tentu aku tak menjumpai rinai hujan hari itu
Kemudian menyuguhkan pelangi dibatas pandanganku
Ku hanya melihat mendung kian mengantarkan petir menyorakinya
Kala diri hanya menjadi boneka
Ruang pikiran dan hatinya hidup
Namun digerakkan lilitan kedzaliman
Dimanakah kata sebuah penghormatan
Untuk menghargai sebiji rusuk yang bengkok ini
Dalam diam menyaksikan
Air mata mengaca pada wajah diri
Akankah nanti kita berakhir
Pada lumbung kepedihan yang tersayat sampai akhirat
Sungguh malang ku saksikan
Cucuran deras keringat sang tetuah
Dibayar akan kedurhakaan watak anak
Padahal dulu sejak ayam bersahutan pada subuh hari
Ia membanggakan mutiara alit itu
Mendoakannya dari sebuah pengharapan
Agar menjadi diri yang bahagia
Tetap berseri seperti masanya ketika ia masih ditimang
Namun kini sungguh apa yang bisa dibalaskan
Sepercik hasrat kotornya
Melukai mimpi tetuahnya
Menengok pada bibit yang telah tertanam rapi
Namu gagal dipanen karena satu hal
Ia terjangkit hama
Pembawa penyesalan dan kebodohan
Diri sesungguhnya kian bernyawa
Karena ia terlahir untuk menjadi sebuah kapas putih
Yang tetap putih sampai nanti
Hingga keadaan mengizinkan
Atas kehendak sang Empunya hidup
Ia akan terkotori dengan debu
Sampai orang akan lalai melupakannya
Dan ia akan tetap hidup abadi
Bersama kenangan di suatu perantauan hidup
Yang mengantarkannya pernah merasakan kebahagiaan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar