Minggu, 01 Desember 2013

Karat Besi




Habislah biji jagung yang muram
                                         Bersama lembayung
                                    Yang mengantarnya pada petang
     Kini tulang rusuk kian merana
            Di tambah arus kental darahnya
     Tak kunjung mencekik hidup
Tubuh mulai semampai
Menyandang anggun
Dalam hitungan usia
Separuh waktu
Hingga awal cerita
            Kawan baru terus menyeret
            Jiwa melompong itu
             Lalu ia mulai menemui
    Mentari yang redup
         Dalam lingkup sayup-sayup
                Berkubang dengan lumpur
                     Pekat melilit arah hidup
                          Bahkan tanpa kabar
                                             Dari saudara setali rahim
                                                 Hingga ia enggan menyebutnya ibu
                 Atau kala senja kelabu
                     Tak jua ada kata sapa “anakku”
                       Ia begitu yatim dalam kasih sayang semu
                        Pelik menertawaknnya
                        Betapa lobang itu kian menganga
                        Jauh hatinya telah karatan
                        Seperti besi yang tahan badai
                        Imannya menggeliat
                        Menyetir fantasi hidup
                        Terlalu lama nurani juga ingin terang
                        Bersama kunang-kunang malam
                        Menyaksikan tangan membisu
                        Menengadah rasa welas asih
                        Pada sang Empunya hidup
                        Mohon ampun.. mohon ampun..

Minggu, 24 November 2013

Sederet Pelangi

Entah harus darimana ku coretkan tinta berabjad ini untuk mengapresiasi dirimu. sudah sekian lama walau waktu tak kunjung membuat kita saling bercengkrama, aku tetap kagum. sosok pemuda yang super satu misi mewujudkan mimpi negeri. sayang tapi kali ini ku tak akan mampu bersua denganmu kembali. jarak kota budaya jawa itu terlalu jauh untuk ku rengkuh. meskipun delman dan hiasan belangkon orang-orangnya cukup menarik untuk di kunjungi. 
kala memang media bisu ini yang mampu mempertemukan, aku hanya tertunduk lesu. berkaca malu pada diriku yang masih diam enggan berlenggang cepat menata negeri. tetap saja lingkungan sangat mencekam ketika aku memulai itu semua sendiri !
sekian kali ku tertegun, pada layar kaca muram ini. kau begitu ambisius. masih pekat bersama semangat yang kau siratkan pada jiwa melompong ini. tak habis pikir setiap melihat ego mu itu aku malah tertarik untuk ikut menjadi pemuda yang ini itu. bertindak, beraksi dan membawa perawakan pemimpin esok. 
serta sejak itu pula jemariku akan melahirkan sajak amatiran untuk menyapamu. walau ku tau diri kau tak akan tertarik akan sastra kacangan ini. sungguh ilmu yang membalut hidupmu dan hidupku tak berbeda jauh. sama-sama mempelajari alam dan sandiwaranya.
kau tetap berkarisma dalam usia seperempat waktumu itu. bersama senyum dan gigi gingsul yang mengembang tipis. aku juga ingin belajar menjadi sepertimu, meskipun kau menilai jiwamu sndiri itu adalah buruk. tapi bagaikan pelipur lara dan pembatas rasa keputus asaan ku, ketika ku berbincang pada foto yang menjadikan sosok figurmu itu hidup. dalam mata hati terjauh ku ingin menyapamu kembali. semoga ku tetap menjadi diriku bersama semangatmu yang ku petik untuk selalu mencintai ibu pertiwi.

Jumat, 22 November 2013

Ruang Kelabu

Biarkan bilik jantung itu mengumpat
Dalam diam yang tak kunjung berwelas asih
Hingga untaian waktu melelang isi alur hidup
Nanti pada akhirnya jua kita kan bersua

Hamparan jerami siap mengisi perut rakyatnya
Ku saksikan perbedaan hiruk pikuk disini
Membuyarkan keheningan senja
Aku ingin cepat berlari
Meniti setapak dengan ratusan kilometernya
Kala badan sudah tak tau menyimpan rindu
Dua minggu yang lalu 
Hanya berkat sederet kalimat berbaris rapi
Serta tutur cerita sang awak akrab
Kami mendekat tanpa sekat

Begitu awalnya aku sudah paham
Hidupnya pekat dalam kubangan lumpur
Namun apa daya hati kala sudah terbius
Rasanya nurani ikut berdoa menuntunnya
Pelik hidup yang menertawakannya
Tak jua membuat nyali ciut untuk mengenalnya
Sudah memang jalan Tuhan
Bagai kunang-kunang yang awam
Menyentuh dan membaur dengan jiwanya
Mungkin aroma ketulusan itu hadir
Mendeskripsikan kami dalam kisah
Spercik merah jambu dalam senja kelabu

Senin, 14 Oktober 2013

Sebait Kisah

Aku begitu terkesima melihat sosok pemuda ini. Seseorang yang selalu ku anggap paling tangguh diantara jajaran orang yang pernah ku kenal. ia berani bermimpi di atas jemari yang terus mengepal membumbung tinggi. aku tahu kala itu, saat teman sebayanya tengah berbangga karena masuk ke dalam salah satu murid berprestasi. dimana sentuhan beasiswa di sebuah universitas negeri amatlah menggiurkan. Tak menutup mata dan pikiran, ia sebenarnya termasuk dalam pemuda yang aktif. bercengkrama dengan organisasi sekolah, maupun organisasi berbasis lingkungan. hingga suatu hari dimana ketika ambisi itu datang. ku saksikan sendiri, ia tak pernah ragu meniti jalan setapak menuju mimpinya itu. kala itu kami tengah menuntut ilmu tambahan di sebuah institusi yang sama. sebuah lembaga bimbingan belajar yang siap membantu mewujudkan segala keinginan kami. aku yang awalnya sudah terlebih dahulu mendapatkan gerbang emas, rupanya membuatku agak sedikit santai meniti masa depan. tak ada rasa bingung yang menghampiri waktu itu. deretan kata yang tersusun dalam hati hanyalah suatu keberuntungan, esok aku tak akan bersusah payah merengkuh bangku kuliah.
Takdir tak selamanya berucap manis. sia-sia itu pasti akan menyemai benih kenestapaan dalam hati. sebuah pemberitahuan berisi pesan singkat bahwa diri ini tak lolos seleksi masuk, membuat tubuh terasa jadi melompong. sirna sudah seketika harapan dan untaian angan yang telah ku rajut sejauh ini.
sungguh Tuhan kala itu masih menyuntikkan semanagat bagi diri yang telah sempoyongan tertunduk lesu. di sela-sela jam belajar yang super padat melebihi ambang batas. ku menyaksikanmu masih minta untuk mentoring hingga mentari telah lama kembali ke peraduannya. tak pernah terbesit dalam benakmu yang sudah jelas seharusnya akan terbaca raut muka putus asa. namun yang kau hadirkan adalah sebuah perjuangan menggapai mimpi secara nyata. melewati jalan tersulit sekalipun.
di situlah ku membuka jalan pemikiranku yang serba buntu itu. berbekal lembaran buku-buku yang tebal tak terhitung jumlah halamannya. otakku berusaha menangkap daya ingat yang hadir. rangkaian kata berisi materi menjamah bergelayutan jadi satu. aku berusaha menyetarakan mimpi dengannya. dan suatu ketika sebuah senyum tipis ikut membasahi bibirku. ia lebih dahulu di terima di sebuah universitas idamannya. berkat tes seleksi yang di ikuti hampir jutaan pemuda di Indonesia. dan ia masuk menjadi salah satu yang terbaik. aku tak kunjung berhenti berharap. sungguh diri begitu mencari setitik kata semangat. dua kali tak lolos seleksi masuk membuat dada cukup kembang kempis. rasanya semua dunia ini ikut padam jika aku tak dapat melanjutkan ke jenjang bangku perguruan tinggi tahun ini. namun syukur, ku berhasil mengenakan sebuah almamater kebanggan semua orang. aku berhasil di terima di sebuah universitas yang semula bukanlah tujuanku. namun tak apalah terhitung ia juga berstatus negeri dan banyak mencetak lulusan terbaik.
seketika waktu terus bergulir dan aku menyaksikan ia tumbuh menjadi seorang yang berbeda dan aku cukup bangga.

Jumat, 04 Oktober 2013

Mutiara Papua



Suara tepuk tangan dan nyanyian riang, tak pernah lelah membangkitkan semangat mereka. Ranah papua yang asri berselimut damainya suasana pepohonan menjulang diantara sudut kesunyian. disini jarang terdengar suara deru kendaraan bermotor berlalu lalang. yang terkutip hanyalah suara kicauan burung serta ranting-ranting kayu usil melambai kesana kemari.
pagi ini bersama lencana merah putih yang melekat di tubuh mereka, seperti emas yang mahal harganya. kemudian tambahan dasi yang terlipat rapi melingkar diantara kancing baju yang terikat, seolah memperlihatkan bahwa mereka adalah calon generasi kantoran yang sukses.
mimpi mereka berada di ujung tepian jurang yang curam. setiap hari harus menyisihkan beberapa jam untuk melangkahkan kaki mungilnya menuju ke sekolah.
bersahabat dengan jalanan yang becek, berlumpur, serta naik turun merupakan hal yang biasa. belum lagi menyebrangi sungai yang arusnya meliuk-liuk tak berarah. semua itu hanya sepenggal cerita yang terpampang, perjuangan yang lain masih begitu abstrak untuk di ketahui orang.
Kucuran keringat untuk mencapai sebuah bangunan sekolah yang sudah hampir roboh dimakan usia, memanglah harga mati. namun mereka tak mengeluh. papan tulis yang masih menggunakan kapur terkadang membuat pemandangan di kelas terlihat acak-acakan. lalu buku-buku mata pelajaran yang hampir tak pernah lengkap, masih sanggup menyuntikkan semangat untuk menuntut ilmu. namun tetap saja kualitas mutiara papua ini tak bisa di ragukan.
Bandingkan dengan anak-anak yang terlalu dimanja. bersekolah di tempat yang elite dan hanya bisa merengek pada orang tua sebab tak selalu mampu menghadapi getir-getirnya kehidupan.
mereka di beri fasilitas serba lengkap bahkan mubadzir terlalu bermewahan, tetapi tetap saja dungu tak bisa memanfaatkannya. bahkan diriku termasuk orang yang mudah lengah di giurkan surganya metropolitan. anak usia dini di kota megah seperti ini sudah tak berminat untuk menyentuh buku pelajaran. mereka sudah repot membicarakan smartphone keluaran terbaru. atau sibuk mengikuti alur cerita remaja yang tak sewajarnya di aplikasikan pada usia mereka.
pacaran !
anak kecil bau kencur zaman sekarang sudah mengerti tentang kata "cinta". hal ini notabene terjadi pada garis-garis kota yang sudah curam tergerus arus globalisasi. mereka tak sadar bahwa ada saudaranya yang tengah mati-matian mewujudkan mimpi negerinya. 
ambil contoh kecilnya saja. Mutiara papua yang berkilauan ini harus tertutupi oleh tingginya ilalang yang membuat mata semua orang kabur memperhatikannya. semangat belajar yang 180 derajat berbeda dari anak metropolitan harus di bayar dengan tidak tersedianya fasilitas pembelajaran yang lengkap. andai mutiara papua ini tahu bahwa buku-buku di perpustakaan kota sudah banyak yang lapuk di makan rayap karena terlalu lama berdebu tak ada yang menjamahnya. kalau hal seperti ini terus terjadi, lalu buat apa pemerintah terlalu sibuk mengadakan pembangunan disana sini ?
sekadar lebih mempercantik fasilitas agar bisa di sebut kota modern. 
andai semua anggaran itu di limpahkan untuk pembangunan di papua mungkin ujung timur Indoesia yang satu ini akan semakin berkilau. apalagi daerah perbatasan merupakan jalur terbaik untuk memikat mata dunia. 

ingatlah negara kita itu satu. sejujurnya aku sudah merasa sesak berada di kota yang terlalu sibuk beradu gengsi ini. mereka tak mau tahu ada banyak ketertinggalan yang terjadi di sekitarnya. mereka jarang bersyukur dan yang paling penting adalah 
terlalu sibuk berargumen politik ini itu tapi tak bermanfaat bagi saudara-saudara sebangsa yang membutuhkan. kalau daerah-daerah itu sudah di caplok negara tetangga, apa yang bisa kita perbuat ? rasanya fasilitas di negeri tetangga super menjanjikan.

Minggu, 29 September 2013

Ujung Timur


Separuh nyawaku bergeming diantara celah-celah waktu yang kian berguling menyisir bait cerita hidupku. Mata dan hati diam ketika hanya bisa menyaksikan, bibit unggulan yang tersiakan dan tak pernah terurus oleh empunya.
Gelak tawa riang mereka berhasil menarik senyum kecut dari bibir sinis ini, meskipun itu hanya imajinasi. Aku hanya membaca raut muka mereka dari bingkai dunia maya.
Mereka adalah bagian dari zamrud khatulistiwa, tetapi dibatasi oleh rimbunan ilalang yang memadati seisi jalan menuju rumahnya. Sebuah ironi saat tanganku hanya mampu berbicara dalam bahasa ketikan tulisan. aku tak mampu bersua dengan mereka, sekadar hanya berbagi cerita. Membawa citra terbaik kota tempat tinggalku agar mereka terkagum. bahkan untuk menjangkau setapak jalan menuju rumah singgah wajah anak-anak timur Indonesia, ku hanya bisa merajut lewat asa supaya Tuhan benar akan mengirimkan diri ini untuk hadir disana.
Aku tahu jaring-jaring mimpi yang bertebaran di otak mereka sungguh luar biasa. namun peri-peri kecil itu hanya mampu menghadirkan bayangan semu. sebuah pilihan untuk menempuh jenjang pendidkan yang layak, tak tersedia di wilayah mereka.
kemana orang berdasi yang setiap hari berkutat dengan ribuan pemikiran untuk pembangunan bangsa ?
Aku bodoh kalau bangga bahwa wilayahku yang sudah sesak ini di beri fasilitas serba mewah lagi. gedung-gedung pencakar langit, lampu kelap-kelip tengah kota, air mancur dengan percikannya yang syahdu, apa lagi ? itu semakin membuat pendatang merasa tertarik untuk mengadu nasib di sini. 
Lihatlah negeriku yang berjajar pulau-pulau namun hanya sebuah kiasan belaka. apa daya ujung timur negeriku terlalu lelap di nyanyikan "nina bobo" 
potensi akan selalu ada dalam diri mereka. namun sayang petinggi ini seolah meremehkan tak mau berbagi rasa welas asih terhadap mereka.
saat sisi mataku melihat dengan hati. ku dapati mereka itu berbeda. fisiknya kuat, mampu survive dengan alam, selalu berani menerjang bahaya untuk hidup bersusah paya demi menggapai apa yang di impikan. kucuran keringat mereka jauh lebih berarti dari pemuda-pemudi di kota pemalas ini. mereka terbuai akan fasilitas mewah tapi dungu tak bisa memanfaatkannya. sungguh sebayaku juga bahkan diriku termasuk dalam boneka yang di jalankan oleh remot politik kebodohan.
ku ingin menyudahi ini, ayolah satu nusa satu bangsa dari sabang sampai merauke apa bedanya ? jangan repot memikirkan macet ibu kota, banjir disana -sini, pengangguran abcdefgh....z masih banyak lahan kosong di Indonesia sebelum di jamah orang. berpikirlah produktif, sungguh wilayah perbatasan adalah jembatan paling potensial daripada daerah yang sudah padat, kumuh, dan berjejal dengan sebangsa orang sombong pemalas dan dungu !

Kamis, 12 September 2013

Terang Redup



Dunia selalu gelap. Tanpa setitik cahaya mentari yang mau menyambut, karena seisi langit sudah dihiasi bintang-bintang. Rembulan hanya mampu bersua dengan semampunya saja sehingga angin terlalu bebas menyapa, membuat dingin sekujur tubuh.
Terlihat lampion-lampion menghiasi gedung pencakar langit, serasa ikut bercengkrama menunggu malam semakin larut.
Merah jambu telah membingkai hati untuk malam yang berisik ini. Setengah hari terlalu abu-abu hingga akhirnya bisa merasakan ada cahaya dalam hati. Seisi ruang yang tertutup rapat, gelap, pekat, penuh ilusi, bercecernya memori, sesak akan masa depan menumbuk jadi satu. Akan tetapi semua telah luluh dalam hitungan detik, saat sebuah lambang menyerupai daun pohon waru mulai menyemai jiwa. Lalu denyut nadi mulai berbeda. Jantung berdegup kencang mencoba membaur dengan situasi.
Pikiran berubah dalam sekejap kedipan mata. membius semua hal yang berakar dari orang itu. Ruangan itu mulai terisi rintikan cahaya usil yang membuat nafas ini kembang kempis. Kenyataan telah hadir membungkam semuanya. Bahkan bagi manusia sekeras batu pun akan tergerus dalam terangnya suasana. Semua terjadi saat cinta hadir menyambangi hidup.
Dunia gelap karena orang tak mau melihat dengan hati. Semua butuh cinta dan kasih sayang, bukan materi yang meredupkan kepekaan hati. Harga kebahagiaan jiwa untuk sesama lebih mahal dari sebuah cek bertuliskan angka “triliun”. Sudah fitrahnya sebagai manusia yang harus mampu memilah hidup dalam kecupan manis pahitnya merah jambu.


Selasa, 03 September 2013

Cerayon


Hidup itu mejikuhibiniu. dalam sebuah paragraf yang terselip dalam secarik kertas, orang - orang pasti akan bercerita dalam bait yang berbeda. aku dan kamu bahkan mreka ibarat sebuah crayon yang berbeda warna namun mampu menciptakan keindahan yang selaras saat semua perbedaan itu mampu untuk di satukan.
Bahkan antara biru muda dan biru tua sekalipun bernama sama namun tetap saja mereka itu terbatasi oleh ciri lain yang khas.
Semua orang adalah sama. yang menjadikan mereka berwarna hanyalah sebuah torehan tindakan kecil yang dilakukan sehingga menciptakan penilain yang berbeda antara dirinya dengan yang lain.
Dalam rinai hujan yang tiap kali menaklukkan bumi, warna itu tetap melekat. semua orang hidup memiliki tujuan, memiliki prinsip, memiliki pandangan dan memiliki keyakinan yang berbeda. semua terwujud memberikan citra warna warni yang tersirat.
dan hanya orang-orang yang mampu mengharai hidup lah yang tau betapa hidup itu tidak hanya sebuah bayangan putih. ataupun sebuah coretan tinta hitam diatas selembar buku catatan. tetapi mereka akan memahami bahwa dunia itu penuh warna, tak sekadar warna samar-samar dan juga penuh cerita dari awal huruf "A" hingga "Z". terlebih juga dunia penuh dengan ekspresi yang membuat rona jingga bermandikan cahaya pelangi tak pernah padam.

Senin, 02 September 2013

Ranting



Garis-garis ranting berbentuk vertikal itu hanya bisu. tak mau sedikit berpose untuk kesekian kalinya ku jepret dengan kamera foto ini. menampilkan deretan kepasrahan walau tampak di dahannya di tumbuhi bercak jamur ataupun getah putih. tak malu walau tak secoklat ranting yang biasanya terngiang di ingatan orang-orang. dalam segala sendu suasana bermandikan cahaya mentari ataupun sinar rembulan, silih berganti dirinya tetap kekar tak takut goyah di terpa badai musim penganggu.

Goresan Kampus

Lima jam lebih puluhan menit aku bercengkrama dengan suasana sedikit riuh. di balik senyum yang terpancar dari raut muka redup pilu. sepucuk topik menghangatkan pembicaraan, lalu saling bersapa kabar dalam cerita liburan kemarin.
Hari ini awal bertemu dari sekian lama terlelap dalam waktu semu. saatnya menata jadwal belajar yang tercecer. mungkin untuk beberapa waktu ke depan jam kelasku hampir sepadan denganmu.
Hatiku tersenyum kikuk, yang memaksa bibir ini memasang tampang sedikit manis di pandang.
Semester kuliah rupanya cukup baik juga tak terlalu membebaniku. sebab seisi otakku sudah bergemuruh untuk menjerit dan merangkai setiap kenangan yang terjadi. lalu dinding-dinding pikiranku sudah terlanjur penuh dengan hiasan "namamu" 
dasar gadis ingusan yang gampang menyapa dewa amor. 
ya, mau dikata apa cinta datangnya dari kedipan mata saat terpesona memandangi parasnya.
ingatanku mulai terkoneksi kembali dengan lima jengkal mimpi di atas kepalaku. rasanya aku kemari ingin menyemai ilmu, tak kurang tak lebih jua mengabaikan masalah perasaan ini. 
semoga saja julukan melankolis tak sedikit menuai intrik. hitung-hitung aku menginjakkan kaki kemari untuk melukis prestasi bukan menjadi agen pencari cinta sejati.

Minggu, 01 September 2013

Cerita Kertas Putih

di atas tanah remah ini ku menulis
ditemani semanis rerumputan layu
tak sedamai ku melihat sinar lembayung
yang memudarkan tudung awan biru

waktu ini,
hanya berimajinasi dalam senja
berusaha menghadirkan sosok pelangi
walau tanpa hujan berlalu lalang

redup-redup hari bergejolak
merontah ingin mendiamkan bumi
malam boleh jadi
lalu tibalah ia kini menyisir hidupku

aku bermain dengan arah alur hidup ini
yang ku cari hanya merangkap waktu
namun kau dan aku yang tercipta
berbeda dengan sejuta intrik dan serdau polemik

Normal

Peringatan saja pada gadis itu. mewujudkan mimpinya dalam batasan normal. semua orang mencibir dalam bekuan sindiran, tak percaya ia akan mampu mengorek - ngorek antara perbatasan langit dengan jengkalan lima jari dari atas kepalanya.
jemarinya mengadu pada secarik kertas agar goresan tinta hitam itu tak hanya membisu, namun mampu bercengkrama menarik mata orang lain untuk membacanya.
tak banyak harapan yang ia gantungkan. satu jam menari lincah diatas mesin ketik lalu pulahan jam hilang akibat bernyali ciut.
karya terbaik apa harus selalu di torehi tinta emas oleh sebuah penerbit ?
bukan penghargaan lisan tetapi insan ini ingin menggumam niat dalam sebuah tulisan. dalam hidup dengan berbatas kata normal. saat semua orang sibuk tau mau menelaah kata-kata lagi namun cenderung kabur menertawakan sebuah karya.
dalam naungan waktu semua berbasa basi menjelma untuk saling ikut beradu gengsi. beralaskan nama sebuah komunitas mereka pamer karya, ya mungkin itulah secuil jalan indah yang dihadirkan oleh Tuhan. ketika hanya teman sebaya yang mampu menyerap maksud tulisan ringkih ini, tak lebih terbaca oleh mesin pembuku waktu. 

120 Jam

120 jam aku mengantri dalam detikan waktu. mengurangi ingatan masa lalu yang mencoba menusuk impianku.
tak terhitung mentari menyambut dengan sejuta kenangan indah
namun semua lenyap saat ku memang harus benar benar bangkit dari kenyataan
120 jam berlalu
lalu terhenti menginjak sajak tak terulang kini.

Sabtu, 31 Agustus 2013

Surat Kekasih pada Pengantin




Memang benar mega itu berseleret biru
Menjamu setiap bait hentakan kaki yang datang
Rimbunan orang memadati ruangan terbuka itu
beratapkan hiasan selambu warna warni
dikanan kirinya ada janur melengkung ayu
semua yang hadir seakan beradu kabar
terlihat jelas dari sini
kuwade itu berdiri kokoh
menarik pesona seribu mata
hari itu begitu semringah
dengan bersandingnya dua makhluk Tuhan
namun tak sampai hati
mengirim kabar duka bagi hati yang lain
ia hanya terbungkam dengan realitas yang ada
kemudian tak lama melumerkan derai air mata
dirinya hanya sanggup mengotak atik kenangan
saat perjodohan adalah jalan pintas
untuk memtikan rasa cinta gadis yang lain
sungguh jeritan hati tengah bersua
dengan denyutan nadi yang kian berdetak kencang
mencari dimana kesempurnaan hidup sesungguhnya