Minggu, 29 September 2013

Ujung Timur


Separuh nyawaku bergeming diantara celah-celah waktu yang kian berguling menyisir bait cerita hidupku. Mata dan hati diam ketika hanya bisa menyaksikan, bibit unggulan yang tersiakan dan tak pernah terurus oleh empunya.
Gelak tawa riang mereka berhasil menarik senyum kecut dari bibir sinis ini, meskipun itu hanya imajinasi. Aku hanya membaca raut muka mereka dari bingkai dunia maya.
Mereka adalah bagian dari zamrud khatulistiwa, tetapi dibatasi oleh rimbunan ilalang yang memadati seisi jalan menuju rumahnya. Sebuah ironi saat tanganku hanya mampu berbicara dalam bahasa ketikan tulisan. aku tak mampu bersua dengan mereka, sekadar hanya berbagi cerita. Membawa citra terbaik kota tempat tinggalku agar mereka terkagum. bahkan untuk menjangkau setapak jalan menuju rumah singgah wajah anak-anak timur Indonesia, ku hanya bisa merajut lewat asa supaya Tuhan benar akan mengirimkan diri ini untuk hadir disana.
Aku tahu jaring-jaring mimpi yang bertebaran di otak mereka sungguh luar biasa. namun peri-peri kecil itu hanya mampu menghadirkan bayangan semu. sebuah pilihan untuk menempuh jenjang pendidkan yang layak, tak tersedia di wilayah mereka.
kemana orang berdasi yang setiap hari berkutat dengan ribuan pemikiran untuk pembangunan bangsa ?
Aku bodoh kalau bangga bahwa wilayahku yang sudah sesak ini di beri fasilitas serba mewah lagi. gedung-gedung pencakar langit, lampu kelap-kelip tengah kota, air mancur dengan percikannya yang syahdu, apa lagi ? itu semakin membuat pendatang merasa tertarik untuk mengadu nasib di sini. 
Lihatlah negeriku yang berjajar pulau-pulau namun hanya sebuah kiasan belaka. apa daya ujung timur negeriku terlalu lelap di nyanyikan "nina bobo" 
potensi akan selalu ada dalam diri mereka. namun sayang petinggi ini seolah meremehkan tak mau berbagi rasa welas asih terhadap mereka.
saat sisi mataku melihat dengan hati. ku dapati mereka itu berbeda. fisiknya kuat, mampu survive dengan alam, selalu berani menerjang bahaya untuk hidup bersusah paya demi menggapai apa yang di impikan. kucuran keringat mereka jauh lebih berarti dari pemuda-pemudi di kota pemalas ini. mereka terbuai akan fasilitas mewah tapi dungu tak bisa memanfaatkannya. sungguh sebayaku juga bahkan diriku termasuk dalam boneka yang di jalankan oleh remot politik kebodohan.
ku ingin menyudahi ini, ayolah satu nusa satu bangsa dari sabang sampai merauke apa bedanya ? jangan repot memikirkan macet ibu kota, banjir disana -sini, pengangguran abcdefgh....z masih banyak lahan kosong di Indonesia sebelum di jamah orang. berpikirlah produktif, sungguh wilayah perbatasan adalah jembatan paling potensial daripada daerah yang sudah padat, kumuh, dan berjejal dengan sebangsa orang sombong pemalas dan dungu !

Kamis, 12 September 2013

Terang Redup



Dunia selalu gelap. Tanpa setitik cahaya mentari yang mau menyambut, karena seisi langit sudah dihiasi bintang-bintang. Rembulan hanya mampu bersua dengan semampunya saja sehingga angin terlalu bebas menyapa, membuat dingin sekujur tubuh.
Terlihat lampion-lampion menghiasi gedung pencakar langit, serasa ikut bercengkrama menunggu malam semakin larut.
Merah jambu telah membingkai hati untuk malam yang berisik ini. Setengah hari terlalu abu-abu hingga akhirnya bisa merasakan ada cahaya dalam hati. Seisi ruang yang tertutup rapat, gelap, pekat, penuh ilusi, bercecernya memori, sesak akan masa depan menumbuk jadi satu. Akan tetapi semua telah luluh dalam hitungan detik, saat sebuah lambang menyerupai daun pohon waru mulai menyemai jiwa. Lalu denyut nadi mulai berbeda. Jantung berdegup kencang mencoba membaur dengan situasi.
Pikiran berubah dalam sekejap kedipan mata. membius semua hal yang berakar dari orang itu. Ruangan itu mulai terisi rintikan cahaya usil yang membuat nafas ini kembang kempis. Kenyataan telah hadir membungkam semuanya. Bahkan bagi manusia sekeras batu pun akan tergerus dalam terangnya suasana. Semua terjadi saat cinta hadir menyambangi hidup.
Dunia gelap karena orang tak mau melihat dengan hati. Semua butuh cinta dan kasih sayang, bukan materi yang meredupkan kepekaan hati. Harga kebahagiaan jiwa untuk sesama lebih mahal dari sebuah cek bertuliskan angka “triliun”. Sudah fitrahnya sebagai manusia yang harus mampu memilah hidup dalam kecupan manis pahitnya merah jambu.


Selasa, 03 September 2013

Cerayon


Hidup itu mejikuhibiniu. dalam sebuah paragraf yang terselip dalam secarik kertas, orang - orang pasti akan bercerita dalam bait yang berbeda. aku dan kamu bahkan mreka ibarat sebuah crayon yang berbeda warna namun mampu menciptakan keindahan yang selaras saat semua perbedaan itu mampu untuk di satukan.
Bahkan antara biru muda dan biru tua sekalipun bernama sama namun tetap saja mereka itu terbatasi oleh ciri lain yang khas.
Semua orang adalah sama. yang menjadikan mereka berwarna hanyalah sebuah torehan tindakan kecil yang dilakukan sehingga menciptakan penilain yang berbeda antara dirinya dengan yang lain.
Dalam rinai hujan yang tiap kali menaklukkan bumi, warna itu tetap melekat. semua orang hidup memiliki tujuan, memiliki prinsip, memiliki pandangan dan memiliki keyakinan yang berbeda. semua terwujud memberikan citra warna warni yang tersirat.
dan hanya orang-orang yang mampu mengharai hidup lah yang tau betapa hidup itu tidak hanya sebuah bayangan putih. ataupun sebuah coretan tinta hitam diatas selembar buku catatan. tetapi mereka akan memahami bahwa dunia itu penuh warna, tak sekadar warna samar-samar dan juga penuh cerita dari awal huruf "A" hingga "Z". terlebih juga dunia penuh dengan ekspresi yang membuat rona jingga bermandikan cahaya pelangi tak pernah padam.

Senin, 02 September 2013

Ranting



Garis-garis ranting berbentuk vertikal itu hanya bisu. tak mau sedikit berpose untuk kesekian kalinya ku jepret dengan kamera foto ini. menampilkan deretan kepasrahan walau tampak di dahannya di tumbuhi bercak jamur ataupun getah putih. tak malu walau tak secoklat ranting yang biasanya terngiang di ingatan orang-orang. dalam segala sendu suasana bermandikan cahaya mentari ataupun sinar rembulan, silih berganti dirinya tetap kekar tak takut goyah di terpa badai musim penganggu.

Goresan Kampus

Lima jam lebih puluhan menit aku bercengkrama dengan suasana sedikit riuh. di balik senyum yang terpancar dari raut muka redup pilu. sepucuk topik menghangatkan pembicaraan, lalu saling bersapa kabar dalam cerita liburan kemarin.
Hari ini awal bertemu dari sekian lama terlelap dalam waktu semu. saatnya menata jadwal belajar yang tercecer. mungkin untuk beberapa waktu ke depan jam kelasku hampir sepadan denganmu.
Hatiku tersenyum kikuk, yang memaksa bibir ini memasang tampang sedikit manis di pandang.
Semester kuliah rupanya cukup baik juga tak terlalu membebaniku. sebab seisi otakku sudah bergemuruh untuk menjerit dan merangkai setiap kenangan yang terjadi. lalu dinding-dinding pikiranku sudah terlanjur penuh dengan hiasan "namamu" 
dasar gadis ingusan yang gampang menyapa dewa amor. 
ya, mau dikata apa cinta datangnya dari kedipan mata saat terpesona memandangi parasnya.
ingatanku mulai terkoneksi kembali dengan lima jengkal mimpi di atas kepalaku. rasanya aku kemari ingin menyemai ilmu, tak kurang tak lebih jua mengabaikan masalah perasaan ini. 
semoga saja julukan melankolis tak sedikit menuai intrik. hitung-hitung aku menginjakkan kaki kemari untuk melukis prestasi bukan menjadi agen pencari cinta sejati.

Minggu, 01 September 2013

Cerita Kertas Putih

di atas tanah remah ini ku menulis
ditemani semanis rerumputan layu
tak sedamai ku melihat sinar lembayung
yang memudarkan tudung awan biru

waktu ini,
hanya berimajinasi dalam senja
berusaha menghadirkan sosok pelangi
walau tanpa hujan berlalu lalang

redup-redup hari bergejolak
merontah ingin mendiamkan bumi
malam boleh jadi
lalu tibalah ia kini menyisir hidupku

aku bermain dengan arah alur hidup ini
yang ku cari hanya merangkap waktu
namun kau dan aku yang tercipta
berbeda dengan sejuta intrik dan serdau polemik

Normal

Peringatan saja pada gadis itu. mewujudkan mimpinya dalam batasan normal. semua orang mencibir dalam bekuan sindiran, tak percaya ia akan mampu mengorek - ngorek antara perbatasan langit dengan jengkalan lima jari dari atas kepalanya.
jemarinya mengadu pada secarik kertas agar goresan tinta hitam itu tak hanya membisu, namun mampu bercengkrama menarik mata orang lain untuk membacanya.
tak banyak harapan yang ia gantungkan. satu jam menari lincah diatas mesin ketik lalu pulahan jam hilang akibat bernyali ciut.
karya terbaik apa harus selalu di torehi tinta emas oleh sebuah penerbit ?
bukan penghargaan lisan tetapi insan ini ingin menggumam niat dalam sebuah tulisan. dalam hidup dengan berbatas kata normal. saat semua orang sibuk tau mau menelaah kata-kata lagi namun cenderung kabur menertawakan sebuah karya.
dalam naungan waktu semua berbasa basi menjelma untuk saling ikut beradu gengsi. beralaskan nama sebuah komunitas mereka pamer karya, ya mungkin itulah secuil jalan indah yang dihadirkan oleh Tuhan. ketika hanya teman sebaya yang mampu menyerap maksud tulisan ringkih ini, tak lebih terbaca oleh mesin pembuku waktu. 

120 Jam

120 jam aku mengantri dalam detikan waktu. mengurangi ingatan masa lalu yang mencoba menusuk impianku.
tak terhitung mentari menyambut dengan sejuta kenangan indah
namun semua lenyap saat ku memang harus benar benar bangkit dari kenyataan
120 jam berlalu
lalu terhenti menginjak sajak tak terulang kini.