Senin, 27 Januari 2014

Pak Sol

Suara kakinya semakin mendekat
Terdengar mengetuk jalanan setapak
Bersama iringan lonceng gerobaknya
Mengikuti di sepanjang pengharapan
Pagi pun tak mengenal malam
Ia masih bersandiwara riang
Berkawan dengan bau busuk
Kaki orang-orang ber grade !
Adakalany suara teriakan memanggil
Menyeru sukmanya untuk menjemput nafkah
Dari jemari terampil yang lusuh
Dengan sabar pula matanya menyorot
Dalam baris jelujur benang kaku
Di jahitlah mulai dari penampanh depan
Lalu bergerak menyisir hingga tumit
Sampailah pada hasil akhir
Tak lupa pewarna cokelat atau hitam
Menyemir kulit sepatu kudisan itu
Supaya tampak baru
Padahal umurnya sudah begitu dekil
Hingga upah dari kawanan seribu itu
Menyapa kantongnya
Alhamdulillah, bisa makan hari ini

Jumat, 24 Januari 2014

Plastik

Biji-biji itu merekat
Bersenyawa rapat
Membungkus hidup yang serba nekat
Seiring jamuan hedonisme
Menjamur mengotori bumi
Timbun di timbun
Robek di robek
Rusak di rusak
Wujudnya tetap absurd
Ia masih hadir menyumpal sesak
Dalam sengatan yang meletup
Menusuk  hidung
Parah jua memotong keindahan
Akibat siapa tak juga ada yang berseru
Semua saling mengejar waktu
Enggan menyapa santun
Pada kerapuhan alamku

Permadani Paling Timur



Permadani hijau itu mengumpat
Dalam semilir keheningan pagi
Hanya terdengar celoteh burung
Melintasi pagar cakrawala
Dari sorot mentari paling timur ini
Rumpun hijau negriku masih asri
Belum banyak terjamah oleh abdi pekerti
Begitu jua orang-orangnya
Masih terbalut ritual animisme
Tapi jangan pula bilang kota ini kuno
Bahkan diantara sekat jerami loteng rumah
Ia menjadi cirri khas peradaban modern
Seandainya suatu waktu
Langkah berayunan menyusuri setapak lumpur
Lalu bersolek dengan pekat asap tungku
Sementara nafas
Sibuk kebang kempis mengikat oksigen
Ah sungguh zamrud khatulistiwa duniawi
Terletak damai di batas negeri
Namun tak banyak di sadari

Cermin

Pandang di pandangi
Seisi raut muka yang telah tercabik
Terisi bekas goresan hidup
Mau di jejali ribuan peristiwa
Hatinya terkikis peliknya arus itu
Mengantarkannya pada petang
Lalu berhilir ke tepi penitihan sesal
Celurit itu mengupas habis senyum
Jemarinya mulai menggelitik
Menyerbu nada beralunkan doa

Tanpa Tema



Di mala ini
Rinai hujan membasahi
Sepi
Hampa
Dingin ku rasa
Dalam kelam tak jemu ku memandang
Hamparan kilaua gejolak kerinduan
Dalam rindu
Rinai hujan menggelitik syahdu
Di tingkap jendela kalbu
Yang kini merapuh dalam kekalutan semu

Senin, 13 Januari 2014

Pengharapan

Mengapa senja terlalu cepat berlabuh
Menepi asa yang semakin mengerucut padam
Aku berjalan diantara trotoar serdadu awam
Bercengkrama dalam kiasan yang manis
Pernakah juga diri tau akan porsinya
Bahwa kini kami berada pada kerumunan jurang
Begitu curam pekat menghitam
Sungguh akankah kasih kami tetap terbang
Lalu bertengger nyaman di perbatasan senja kala
Waktu itu saat ufuk barat menjamu rindu
Semoga saja ia tak berburu melebihi satu

Minggu, 12 Januari 2014

Planet Politik

Pada suatu ketika
Mereka berceloteh saling bisik dan bidik
Meramu amunisi untuk meluncurkan ambisi
Dalam secangkir teh hangat
Pertemuannya rapat tiada sekat
Katanya planet rimba ini butuh lakon
Berjiwa kesatria piningit
Para semut sudah kehabisan makanan dan pengharapan
Apalagi padi sudah menjamur di hajar lalat
Tak ada duit meretas urip
Katanya pula disini butuh persemakmuran
Dari secuil janji untuk kebahagiaan
Semoga jemari para jelatah usang itu meronta
Akan pilihan berdasarkan mata hati
Bukan terkapar rayuan bingkisan khuldi
Planet butuh harga diri
Dari citra yang tak tercoreng ambang manusiawi

Selasa, 07 Januari 2014

Pujangga Ufuk Barat




Biarkan damainya keheningan nurani
Bersemedi riang membungkam suasana
Dari sajak peluruh senyum
Tak berbuah melodi klasik kontemporer
Semuanya abstrak
Absurd menjamur jadi debu
Kala kata-kata arjuna bergeming
Potongan kulit kepercayaan itu ambigu
Dua dimensi sisi anugerah hidup
Namun mengapa masih ada campur tangan
Sisa bekas potret masa kemarin
Akankah hatinya membekas
Dalam kutipan rasa yang meranggas
Entahlah,
Figur itu menampik akan kenyataan yang hadir
Ilalang juga tak sampai sanggup menjamahnya
Risalah saat ia terjebak pada kubangan dusta
Manakala senja tak kunjung jua menyapanya
Adilkah kali ini hidup mempermainkannya
Niatan sayu harus terbalut sendu
Saat semua bercampur aduk menjadi adonan
Adonan hidup diantara masalah kalangan sebaya
Tak jua ingin tertegun berlarut pada dialog semu
Kuatkan aku mempercayainya
Dalam sepotong kasih yang tertancap akan ikrar
Walau sajakku menggumam sendiri
Antara sebuah arti kawan akrab
Lalu merajut jadi seutas hubungan ambang batas
Seandainya pula itu terjadi
Tak pernah ada peluh yang menetes
Atau sindiran cemooh akan maksut lain
Biarkan rela mengucapkan takdir yang ia temui
Berjalan ditemani aroma sepi
Mengadu lagi akan celotehan yang sama
Hingga akhirnya lahir kembali sajak –sajak
Berbau dupa duka filosofi hidup
Bagaimana cara merasuk dalam-dalam
 akan memori tak berbait
dulu pada waktu yang ceria saat semua tak sama
kami bersapa akrab saling begitu andil
namun tatkala hati mulai penuh dengan tanya
menebak goresan sajak senja yang membaur
ada apakah sebenar-benarnya terjadi
mengapa ia enggan membagikannya
untuk sekadar bahan orolan tawa kami
maka pada suatu ketika
ku dengar lirih dari tutur yang lain
katanya ia memang pernah menyentuh hatinya
tapi mengapa ia tak sadar diri
mungkin sudah ribuan kali lamanya
pujangga ufuk barat itu menelan dalam inginnya
dari sederet kalimat yang di hadirkannya
aku tau dirinya tengah megagumi sosok itu
bagaimana aku tak jua bertanya
ketika obrolan kami selalu diisi akan wujudnya
memang mendalam rasanya kecewa sekali
meluruhkan amarah pada senyum tak berdaya
namun tak pernah harus ada kata menyalahkan
karena urat nadi ini bertemu karena dia
tapi semoga pagi dan malam
ia larut dalam lembaran kalimat hidupku
dan tak pernah lagi menggantungkan senja
pada pengharapan tak berbalas kasih